A. Perbedaan Fikih dengan Syariah.
Secara terminologis, kata syariah berarti sumber air yang dipakai untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering dipakai untuk jalan yang lurus, yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti sebab sumber mata air merupakan kebutuhan pokok insan untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok insan yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, selanjutnya arti syariah menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk umat manusia. Secara umum keberadaan syariah Islam ialah untuk mengatur kehidupan insan sebagai makhluk individual untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariah Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqasid Al-Syariah yaitu:
1. Untuk memelihara agama (Hifz Al-din)
Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah Swt untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga insan akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh sebab itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia.
2. Memelihara jiwa (Hifz al-Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa insan dalam arti luas. Larangan membunuh insan merupakan salah satu bentuk dari tugas syariah untuk memperlihatkan kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.
3. Memelihara nalar (Hifz Al-Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara nalar sebagai anugerah Allah Swt yang sangat prinsip sebab tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah di antara anugerah Allah Swt yang paling utama, sehingga sanggup membedakan antara insan dengan makhluk lain dan sanggup membedakan antara insan yang sehat jiwanya dengan insan yang tidak sehat jiwanya
4. Memelihara keturunan (Hifz Al-Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik sebab dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu bentuknya yaitu aturan ihwal janji nikah yang telah banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.
5. Memelihara harta (Hifz Al-Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
Selanjutnya, mari kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara terminologis berikut:
1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah sama dengan agama.
2. Manna al-Qattan (pakar fikih dari Mesir) menyampaikan bahwa syariah merupakan segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang mencakup akidah, ibadah, moral dan tata kehidupan insan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syariah yaitu segala yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., baik yang ada dalam AlQur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya disebut dengan teks-teks suci.
Berdasarkan klarifikasi di atas, sanggup disimpulkan bahwa syariah yaitu teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan aturan sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad.
Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu tidak salah, jikalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini menyampaikan bahwa syariah selamanya bersifat benar, sedangkan fikih sebab merupakan hasil pemikiran insan memungkinkan untuk benar ataupun salah.
Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga dilarang meremehkan begitu saja sebab para ulama dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau tidak sanggup dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah penyakit yang direkomendasikan oleh dokter menurut keilmuan yang dikuasainya. Oleh sebab itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter.
Namun demikian, bukan berarti dokter yaitu sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok insan biasa yang mungkin juga melaksanakan kesalahan. Nah, bagi pasien yang tanda-tanda penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan gres ke dokter lain yang lebih jago (dari dokter umum ke spesialis, misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan kesalahan malpraktik atau tidak, bisa melaksanakan penelitian untuk menciptakan kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan seorang dokter.
Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam fikih, sebab dasar berpijaknya yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah, setiap pedoman fikih yang dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah pedoman fikih yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat pun akan tenang melaksanakan pedoman tersebut sebagai sesuatu yang benar secara syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah pedoman inilah yang justru disarankan dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid). Sehingga letak perbedan antara Syariah dan Fikih yaitu sebagai berikut:
B. Contoh Sederhana Perbedaan Syariah, Fikih dan Bukan Fikih.
Untuk memperoleh citra yang bisa mempermudah kalian membedakan syariah, fikih dan bukan fikih, mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kau hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu hingga dengan kedua mata kaki….” (QS. al-Maidah: 6)
Umar bin Al Khaththab di atas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya sebab dunia yang ingin digapainya atau sebab seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya yaitu kepada apa ia diniatkan" (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala danmembasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan sehabis itu dari membasuh muka hingga dengan kaki diperoleh dari Al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa abjad wawu pada surat al-Maidah di atas memperlihatkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak hingga menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan mempunyai dasar berpijak dari Al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah).
Sedangkan teladan pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas Al-Qur’an dan sunnah Nabi), yaitu ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan ibarat ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas citra yang membedakan syari’ah, fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan sambil mencar ilmu di Madrasah kalian.
Contoh yang lain yaitu ihwal perintah sholat dan tata cara pelaksaannya. Perintah sholat yaitu masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksaan sholat yaitu masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada gerakan dan beberapa bacaannya terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama yang lain. Sementara gerakan yang tidak termasuk fikih yaitu memutar-mutar tangan pada ketika sehabis takbiratul ikhram.
Secara terminologis, kata syariah berarti sumber air yang dipakai untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering dipakai untuk jalan yang lurus, yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti sebab sumber mata air merupakan kebutuhan pokok insan untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok insan yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, selanjutnya arti syariah menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk umat manusia. Secara umum keberadaan syariah Islam ialah untuk mengatur kehidupan insan sebagai makhluk individual untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariah Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqasid Al-Syariah yaitu:
1. Untuk memelihara agama (Hifz Al-din)
Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah Swt untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga insan akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh sebab itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia.
2. Memelihara jiwa (Hifz al-Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa insan dalam arti luas. Larangan membunuh insan merupakan salah satu bentuk dari tugas syariah untuk memperlihatkan kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.
3. Memelihara nalar (Hifz Al-Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara nalar sebagai anugerah Allah Swt yang sangat prinsip sebab tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah di antara anugerah Allah Swt yang paling utama, sehingga sanggup membedakan antara insan dengan makhluk lain dan sanggup membedakan antara insan yang sehat jiwanya dengan insan yang tidak sehat jiwanya
4. Memelihara keturunan (Hifz Al-Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik sebab dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu bentuknya yaitu aturan ihwal janji nikah yang telah banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.
5. Memelihara harta (Hifz Al-Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
Selanjutnya, mari kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara terminologis berikut:
1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah sama dengan agama.
2. Manna al-Qattan (pakar fikih dari Mesir) menyampaikan bahwa syariah merupakan segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang mencakup akidah, ibadah, moral dan tata kehidupan insan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syariah yaitu segala yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., baik yang ada dalam AlQur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya disebut dengan teks-teks suci.
Berdasarkan klarifikasi di atas, sanggup disimpulkan bahwa syariah yaitu teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan aturan sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad.
Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu tidak salah, jikalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini menyampaikan bahwa syariah selamanya bersifat benar, sedangkan fikih sebab merupakan hasil pemikiran insan memungkinkan untuk benar ataupun salah.
Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga dilarang meremehkan begitu saja sebab para ulama dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau tidak sanggup dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah penyakit yang direkomendasikan oleh dokter menurut keilmuan yang dikuasainya. Oleh sebab itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter.
Namun demikian, bukan berarti dokter yaitu sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok insan biasa yang mungkin juga melaksanakan kesalahan. Nah, bagi pasien yang tanda-tanda penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan gres ke dokter lain yang lebih jago (dari dokter umum ke spesialis, misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan kesalahan malpraktik atau tidak, bisa melaksanakan penelitian untuk menciptakan kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan seorang dokter.
Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam fikih, sebab dasar berpijaknya yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah, setiap pedoman fikih yang dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah pedoman fikih yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat pun akan tenang melaksanakan pedoman tersebut sebagai sesuatu yang benar secara syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah pedoman inilah yang justru disarankan dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid). Sehingga letak perbedan antara Syariah dan Fikih yaitu sebagai berikut:
No | SYARIAH | FIKIH |
1 | Bersumber dari Al-Qur’an Hadis serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya | Bersumber dari para Ulama dan jago Fiqh, tetapi tetap merujuk pada AlQur›an dan Hadis |
2 | Hukumnya bersifat Qat’i (Pasti) | Hukumnya bersifat zanni (dugaan) |
3 | Hukum Syariahnya hanya Satu (Universal) tetapi harus ditaati oleh semua umat Islam | Berbagai ragam cara pelaksanaannya |
4 | Tidak ada campur tangan insan (ulama) dalam tetapkan hukum | Adanya campur tangan (ijtihad) para Ulama dalam penetapan pelaksanan hukum |
B. Contoh Sederhana Perbedaan Syariah, Fikih dan Bukan Fikih.
Untuk memperoleh citra yang bisa mempermudah kalian membedakan syariah, fikih dan bukan fikih, mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kau hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu hingga dengan kedua mata kaki….” (QS. al-Maidah: 6)
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Umar bin Al Khaththab di atas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya sebab dunia yang ingin digapainya atau sebab seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya yaitu kepada apa ia diniatkan" (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala danmembasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan sehabis itu dari membasuh muka hingga dengan kaki diperoleh dari Al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa abjad wawu pada surat al-Maidah di atas memperlihatkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak hingga menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan mempunyai dasar berpijak dari Al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah).
Sedangkan teladan pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas Al-Qur’an dan sunnah Nabi), yaitu ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan ibarat ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas citra yang membedakan syari’ah, fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan sambil mencar ilmu di Madrasah kalian.
Contoh yang lain yaitu ihwal perintah sholat dan tata cara pelaksaannya. Perintah sholat yaitu masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksaan sholat yaitu masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada gerakan dan beberapa bacaannya terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama yang lain. Sementara gerakan yang tidak termasuk fikih yaitu memutar-mutar tangan pada ketika sehabis takbiratul ikhram.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal perbedaan fiqih dengan syariah dan contohnya. Sumber buku Fikih Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu etikahidupmuslim.blogspot.com semoga bermanfaat. Aamiin.