A. Pengertian Akal dan Wahyu.
1. Akal.
Akal secara lughawi mempunyai banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang mempunyai banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala mempunyai makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga mempunyai arti “nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang sanggup mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak sanggup dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan bahwa budi yakni sumber ilmu, kawasan terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan dari padanya menyerupai jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata.
2. Wahyu.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid beropini bahwa wahyu yakni pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai iman bahwa semua itu tiba dari Allah Swt, baik melalui mediator maupun tanpa perantara. Baik berubah menjadi menyerupai bunyi yang masuk dalam pendengaran ataupun lainnya. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad Saw terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
B. Akal dan Wahyu Menurut Aliran Kalam.
1) Menurut Aliran Mu’tazilah.
Bahwa sebelum tiba wahyu, budi sanggup dijadikan pedoman dalam memilih apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melaksanakan pikiran sehat yakni wajib, alasannya dengan pikiran sehat yang mendalam sanggup mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari empat persoalan tersebut di atas, bagi anutan Mu’tazilah sanggup diketahui melalui akal.
2) Menurut Aliran Asy’ariyah.
Imam Asy’ari menjelaskan bahwa, wahyu lah yang memilih baik dan buruk, memilih kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga jika dikatakan bohong itu yakni jelek alasannya wahyu lah yang menetapkannya.
3) Aliran Maturidiyah.
Antara Abu Mansur dengan al-Bazdawi berbeda. Abu Mansur menjelaskan bahwa, Akal sanggup mengetahui Tuhan, baik dan jelek serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyu lah yang menetapkannya. Begitu pula tidak semua yang baik dan jelek diketahui budi sehingga sangat dibutuhkan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan al-Bazdawi beropini bahwa, semua pengetahuan sanggup dicapai oleh budi sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana budi dan wahyu berdasarkan anutan Mu’tazilah, anutan Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu etikahidupmuslim.blogspot.com semoga bermanfaat. Aamiin.